Demokratis (democratic
government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang Dunia I,
diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai
tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan
kontrol Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada awalnya ditandai
dengan konsolidasi pemerintahan yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam
masyarakat. Peran negara pada tahap ini sangat dominan untuk membawa perubahan
sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, terjadi pada periodisasi tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser
perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Periode tersebut merupakan
perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia
Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada
periode tersebut, pendalaman kapitalisme
itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia,
Amerika Latin dan Afrika. Modernisasi mampu mendorong pembangunan ekonomi dan
birokrasi yang semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta
demokrasi semakin tumbuh berkembang merupakan asumsi perspektif Barat yang dimanifestasikan
dalam tahapan tersebut. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan
ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti oleh meluasnya rezim
otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil
dan masyarakat bisnis internasional (Bourgon, 2011). Tahap IV, ditandai dengan
krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia memasuki dekade
1980-an. Krisis ekonomi juga
dihadapi Indonesia yang ditandai dengan
anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada periode 1980-an
mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai
bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai
akar masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”,
yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan
publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan
pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal,
dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap V, adalah era 1990-an, dimana
proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas
seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan,
yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang
berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga
donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional
yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.
Pada Good Governance
telah dibedakan antara Government dengan Governance. Government lebih bersifat
tertutup dan tidak sukarela, tidak bisa melibatkan Cso dan swasta / privat
dalam membentuk struktur keorganisasiannya. Hal ini berbeda dengan sifat
governance yang lebih terbuka dalam struktur keorganisasian dan bersifat
sukarela. Governance melibatkan seluruh aktor baik publik maupun privat dalam
membentuk struktur sehingga bisa
menempatkan pengarutan kebijakan sesuai kebutuhan fungsionalitasnya . Governance
dilihat dari dimensi konvensi interaksi
memiliki ciri konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan
yang kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Government justru
sebaliknya, hierarki kewenangan yang telah menjadi mainset mengakibatkan pola
hubungan banyak bersifat konflik dan penuh dengan kerahasiaan. Dilihat dari
dimensi distribusi kekuasaan, governance memiliki ciri dominasi negara sangat
rendah, lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat (publicness) dalam
pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antaraktor. Dalam government justru dominasi negara sangat kuat
dan tidak ada keseimbangan yang terjadi antaraktor (Kurniawan, 2007 : 15-16).
Istilah governance
sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir
120-an tahun, terutama oleh Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden
Amerika Serikat ke 27. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam
literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang governance yang diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau
pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul sekitar 20-an tahun
belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional
menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program
bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia,
istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya,
penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),
tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai
pemerintahan yang bersih (clean government) (Efendi, 2005).
Istilah good governance
kembali mencuat pada tahun 1980an terutama dalam diskusi yang bertajuk
pembangunan. Governance merupakan redefinisi dari mendesain dan menemukan
kembali konsep administrasi publik
(Wrihatnolo & Riant, 2007 : 125). Good Governance mempunyai karakteristik
sebagai berikut.
1. Participation, yaitu setiap warga
memiliki suara dalam pembuatan keputusan, secara langsung maupun melalui
intermediasi institusi legitimasi yang merepresentasikan kepentingannya.
2. Rule of law, yaitu adanya kepastian
hukum tanpa pandang bulu, terutama menyangkut HAM
3. Transparency, dibangun atas kebebasan
informasi
4. Responsiveness, setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus melayani stakeholders
5. Consensus orientation, good
governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas.
6. Equity, publik memiliki kesempatan
untuk menjaga kesejahteraan.
7. Effectiveness and efficiency, proses
lembaga menghasilkan produk sesuai dengan yang digariskan dan menggunakan
sumber daya yang dimiliki dengan efisien dan efektif.
8. Accountability, pembuat kebijakan/
keputusan baik pemerintah, swasta maupun civil society atau Civil social
organization harus bertanggungjawab pada publik dan stakeholders (Tangkisan,
2005 : 115)
Di Indonesia, Isu
Governance mulai memasuki arena perdebatan pembangunan yang didorong oleh
adanya dinamika menuntut perubahan baik dari sisi pemerintah maupun warga.
Dalam konsep Governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak
selalu menjadi aktor yang paling menentukan. Peran pemerintah sebagai pembangun
maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur bergeser menjadi badan
pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi stakeholder lainnya
untuk ikut aktif dalam kebijakan (Sumarto, 2004). Bank Dunia, sebagai inisiatif
pembangunan kapasitas kelembagaan (institutional capacity building) di bawah
rubrik governance untuk pembangunan untuk pertama kalinya telah memperkenalkan
konsep public sector management programs (program pengelolaan sektor publik)
dalam rangka memperlakukan tata pemerintah yang lebih baik, khususnya dalam
bingkai persyaratan bantuan pembangunan, yang dikenal dengan Structural
Adjustment Program (SAP, atau program penyesuaian struktural)[2]. Good
governance merupakan imposisi politik hukum yang dikendalikan negara-negara
industrial dan agen internasional (lembaga maupun negara donor) dalam
membentuk tata pemerintahan yang
berselerakan pasar. Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan
oleh badan-badan donor internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto
politik baru. Analisis Bank Dunia menekankan pentingnya program governance,
yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, pers yang bebas,
penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara dalam
organisasi-organisasi nonprofit.
Bank Dunia memberi batasan good
governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat
diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya. Komunitas
Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi
yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi
pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan
lingkungan yang bershabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk
memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM,
kebebasan pers dan ekspresi. Sedangkan UNDP memberi pengertian good governance
sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor
swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Menurut
UNDP, pola kepemerintahan dalam good
governance menuntut keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat, dan
segera bisa terwujud apabila pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, yang
berarti harus ada desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam praktek
penyelenggaraan good governance untuk menciptakan demokrasi dan pembaruan hukum
tidak lepas dari support penuh Bank Dunia. Melalui laporan tahunannya Bank
Dunia jelas sekali proposisinya dalam membangun wacana kebutuhan good
governance sebagai prasyarat liberalisasi pasar. Oleh sebab itu, proyek-proyek
good governance Bank Dunia, senantiasa ditujukan pada pendisiplinan
ketatapemerintahan yang berorientasikan pada kesetiaan pada liberalisasi pasar.
Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek good governance yang cukup
sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental
state model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia
Tenggara. Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah melesat
setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran
governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai
ideologi dominan mencoba untuk mengkonstruksi “politically lock-in neo-liberal
reforms‟ (Gill,1997). Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good
governance di Indonesia, karena selain kebijakan pemerintah yang
berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam
mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus melengkapi
posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar. Tetapi bila
dilihat secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa
good governance bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan
untuk menghasilkan mesin yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar.
Bank Dunia sendiri
dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu yaitu CGI
(Consultative Group on Indonesia), Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
(Partnership for Governance Reform)
dan Justice for the Poor. Dalam
forum tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan
kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan).
Ini bisa terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga
prasyarat utang tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank
Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama
untuk Partnership for Governance Reform. Melalui forum kelompok
multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam
membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for
development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan
lembaga pemerintahan baru. Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran
hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan
oleh tidak saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah. Sedangkan
Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank
Dunia dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah
strategi pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia,
program-program pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting
dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan
korupsi, Bank Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek
yang didanainya sendiri, semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek
pembaruan ketatapemerintahan melalui good governance cenderung untuk melayani
promosi konsensus pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya dengan
mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal partisipasi. Di
titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih
menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut “market friendly
human rights paradigm‟ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar).
Muncul dan berperannya Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan
dengan program global dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang
disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan proyek dan mekanisme seragam
untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga. PRSPs yang demikian harus
diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman. Berdasarkan laporan
Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan
kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi,
rezim finansial, dan mendesakkan peran negara agar menghapus
perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman 2006: 67). Kritik Good
Governance Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance
hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance,
padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk
kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi
negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar
Beberapa ahli malah
tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan
nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya adalah democratic governance, yaitu
suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang dikelola oleh
rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta
dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini
secara substantif tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance,
hanya saja tidak memasukkan dimensi pasar dalam governance. Term Good dalam good governance adalah westernized dan
diabsolutkan sedemikian rupa terkadang mendekati God, sehingga prasyarat yang
ada dalam Good Governance harus dituruti atau diikuti. Kritik berikutnya dalam
good governance, seolah-olah kehidupan hanya berkuatat pada interaksi antara
pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat
di negara tertentu pula. Hal tersebut tidak sesuai dengan realitas, karena
secara kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga
elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, aktor tersebut adalah dunia
internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat
secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah
pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah
banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam
hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat
hegemoni terma “good‟ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif
internasional.
Good governance
memiliki dampak terhadap kerdilnya struktur negara berkembang, sementara
kekuatan bisnis dunia makin membesar. Oleh karena itu, harus ada penyempurnaan
dari paradigma Good governance, salah satunya yaitu konsep Sound Governance
(SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan (Ali
Farazmand, 2004). Pada Implementasi
good governance, aktor kunci yang
berperan terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan
good governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah,
swasta dan masyarakat secara domestik.
Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat
aktor, yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu
inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya
domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan
internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian
internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance
kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara
tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu
pula. Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar
dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan.
Aktor tersebut adalah dunia internasional. Bahkan Ali Farazmand (2004) secara
tegas menyebut good governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian
struktural (structural adjustment programs/SAPs).
Kritik lain juga muncul
terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu yang
hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term “good‟
dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa.
Pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai
banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di
Indonesia. Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang
mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good
governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan.
Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman
kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan. Bentuk kritik lainnya
dalam pelaksanaan good governance agar proses tata pemerintahan yang baik bisa
terwujud maka ada satu jalan yaitu pemerintahan harus menjalankan
prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance, seperti participation,
rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity,
effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound
Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju
tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip)
dilakukan untuk mencapai tujuan. Sound governance sebagai wacana baru yang
muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound”
menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan
keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata pemerintahan (pola
relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang
variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good‟
oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Sound Governance
menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang
applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada
prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang
bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya
dan konteks lokal serta ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan
penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.
Kesimpulan
Secara konseptual,
seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia itu diikuti
dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan
rakyat dengan good governance dalam realitas deskiptif tidak sesuai dengan
teori normatif . Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat
ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Salah satu kegagalan Good governance adalah
tidak memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good
governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara
pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat
di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor
yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan
dalam hitungan, yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.